Kamis, 25 April 2013

Pengorbanan Ibu


                        Selamat ulang tahun yang ke-15 untukku. Seperti ulang tahun sebelumnya, aku dan ayah merayakan ulang tahunku tanpa kehadiran Ibu. Atau mungkin Ibu selalu hadir dan aku tak pernah menyadarinya. Aku sangat menyayangi sosok ibu meski aku tak pernah melihatnya.
Pesta malam ini hanya ada aku dan ayah, serta kue ditambah hiasan lilin menyala bertuliskan angka 15 diatasnya. Aku merindukan kehadiran ibu saat ini, diusiaku yang remaja aku butuh ibu untuk mengajariku untuk menemukan jati diriku. Aku dan ayah mulai menyanyikan lagu ulang tahun, sesekali ayah berhenti menyanyi dan mengusap air mata dengan sapu tangannya.
“Ayah menangis?”
“Ayah hanya rindu kehadiran ibumu.”
“Seperti apa Yah ibu itu?”
“Ibumu adalah sosok mulia, penuh kasih sayang, dia cerdas sepertimu. Dia sosok penuh cinta pada siapapun.”
“Apa ibu juga mencintaiku?”
“Tentu saja ibu sangat mencintaimu.”
“Jika ibu mencintaiku, kenapa ibu pergi? Ibu lebih memilih meninggalkanku daripada harus bersamaku. Itukah yang disebut cinta Ayah?”
Ayah menghela napas dan mendekapku hangat. Kemudian langkahnya menuntunku pada kotak tua yang usang dan berdebu, kotak ini sengaja disimpan ayah bertahun-tahun lamanya. Kotak ini tersimpan rapi dalam almari baju ibu, aku tak pernah tahu ada kotak tua di almari itu karna memang ayah selalu melarangku membuka almari peninggalan ibu.
“Ini adalah surat dari ibumu sewaktu beliau melahirkanmu 15tahun silam. Ayah selalu menjaga amanat ibumu, beliau ingin agar surat ini Ayah sampaikan padamu ketika ulang tahunmu yang ke-15. Bacalah, maka kamu akan mengerti.”
Ayah memberikan surat itu padaku. Aku membukanya pelan-pelan, kertas itu begitu rapuh dan aku takut gerakan tanganku yang tergesa-gesa akan menghancurkannya.
Tulisannya berjajar rapi, ditulis dengan huruf latin dan tinta berwarna hitam tebal diatas kertas yang sudah usang. Meski tulisan itu agak berantakan dibagian tengah dan hampir tak terbaca olehku.

“Ibumu menulis ini tepat setelah melahirkanmu, sebelum beliau meninggalkanmu. Tulisannya agak berantakan dibagian tengah, Ayah tahu ibumu berusaha menahan sakitnya waktu itu”


Untuk siapapun kamu yang lahir dari rahim ibu,
Ibu selalu menantikan hari kelahiranmu, ibu ingin sekali mendekapmu dan melindungimu dari kerasnya dunia luar. Kamu mungkin menganggap ibu sangat jahat meninggalkanmu yang masih bayi, ketahuilah ibu sangat mencintaimu melebihi diri ibu sendiri.
Ibu tidak bisa menolak, ketika Tuhan memberi ibu penyakit Leukimia. Dokter yang saat itu merawat, hanya memberi dua pilihan menyelamatkan ibu atau menyelamatkan kamu. Ini adalah pilihan paling sulit dalam hidup ibu, tapi ibu memilihmu meski harus mengorbankan diri ibu sendiri. Ibu lebih memilih memperjuangkan hidupmu. Ibu yakin kamu akan menjadi anak baik, ibu tak ingin merenggut masa depanmu.
Hari berlalu, hingga hari kelahiranmu tiba. Ini adalah hari yang ibu nanti ibu bisa memilikimu, meski dihari yang sama juga ibu akan kehilanganmu. Ibu berjuang, mempertaruhkan nyawamu dengan menebusnya dengan nyawa ibu. Ibu sempat mendengar suara tangisanmu didunia. Ibu sangat bahagia. Selamat datang didunia Nak. Selamat tinggal.




                            “Ayah waktu itu tak bisa melakukan banyak hal saat jenazah ibumu dikuburkan diliang lahat. Kamu menangis kencang sekali waktu itu. Perasaanmu sama seperti ayah, tidak rela melihat ibu pergi secepat itu.”
                            “Jadi itu alasan kenapa tak pernah ada sosok ibu disetiap ulang tahunku?”
                            Ayah mengangguk mantap dan mengembangkan senyum yang sengaja dipaksakan untukku. Aku tahu perasaannya begitu pilu, begitu kehilangan sosok ibu. Sama halnya seperti diriku. Cinta ibu sangat besar padaku. Aku tak mungkin bisa membalasnya.
                            ***
                            Hari ini ayah mengajakku menengok tempat peristirahatan ibu. Baru kali ini ayah memberanikan diri mengajakku ke makam ibu. Kami kompakan mengenakan pakaian serba hitam. Aku mengikuti langkah diantara batu-batu nisan yang berjajar, langkahnya berhenti di batu nisan bertuliskan “Nayla Putri”
                            “Kuburan siapa itu Ayah? Apa dia ibuku?”
                            “Iya beliau Ibumu.”
                            Ayah memang selalu menyembunyikan identitas ibu selama ini. Ayah hanya berkata ibumu sedang pergi. Mungkin kala itu aku masih terlalu kecil untuk mengerti apa itu kematian. Kini aku sudah mengerti apa maksud dari perkataan ayah, ibu memang benar-benar pergi dari hidupku dan beliau tak pernah kembali.
                            Tiba-tiba dadaku sesak, sejenak ingatanku melayang pada sebuah surat yang sempat ibu tulis untukku 15tahun lalu. Aku duduk setengah jongkok, pipiku basah dengan air mata. Aku merasa benar-benar kehilangan sosok ibu, kematian dengan tragis merebutnya dariku.
                            Ayah meraih tanganku, beliau ingin aku menaburkan bunga mawar ini untuk ibu. Aku tahu tangannya yang kekar terasa ngilu saat harus menaburkan bunga itu. Tanpa sepatah katapun aku segera menuruti kemauan ayah. Hatiku seakan tersayat melihat nisan itu. Berkali-kali kuciumi nisan itu, kubayangkan saat ini ibu memelukku. Hanya dengan membayangkan saja sekejab kerinduanku pada sosok ibu sudah terobati meski tak benar-benar terobati.
                            “Didunia ini tak ada yang abadi, semua yang bernyawa pasti akan mengalami kematian. Kamu tidak perlu menyesalinya. Ibumu selalu hidup abadi dihatimu. Jika kamu sayang pada ibumu, doakan dia. Itulah caramu menjaga ibu dari kejauhan.” Ucapan ayah sedikit melegakan hatiku. Aku tahu hatinya begitu tersayaat saat ini.
                            Aku hanya bisa mengembangkan senyum untuk menunjukkan pada ayah bahwa aku baik-baik saja, maafkan aku membohongi ayah. Aku terlalu takut melihat ayah sedih.
                            ***
                            Selalu dalam rapalan doaku, aku selalu menyebut nama ibu. Aku selalu bercerita pada Tuhan tentang rinduku pada seorang Ibu. Aku tak pernah marah pada Tuhan mengambil ibu dari hidupku, aku tak pernah marah pada siapapun. Karna marah pun tak sanggup mengembalikan ibu kembali ke hidupku.
                            Tuhan aku tahu Engkau sangat menyayangi ibuku. Aku rindu ibuku, disaat anak-anak seusiaku bermain dan menghabiskan waktu mereka dengan ibu mereka aku hanya mampu bercakap-cakap dengan ibu melalui doa. Selamat pagi ibu, atau selamat siang, bahkan selamat malam. Aku tak pernah tahu disurga sedang musim apa. Musim saljukah? Ibu pasti kedinginan ya? Tenang saja Bu, aku sudah memohon Tuhan untuk memberikan ibu kasih sayang paling hangat. Aku bahagia memiliki ibu, ibu yang rela memperjuangkan apapun hanya untukku. Aku sudah dewasa Bu, Ayah berhasil mendidikku dengan baik. Dia menyayangiku seperti ibu menyayangiku. Ayah menyekolahkan aku di SMP Favorit di kota tampat ibu melahirkanku dulu. Ibu patut berbangga, aku selalu juara di kelas unggulan. Guruku sangat menyayangiku. Tuhan selalu merencanakan hari yang menyenangkan padaku. Ibu tak perlu mengkhawatirkanku. Aku bahagia, seperti ibu bahagia disurga sana.”
                            ***
                            15tahun kemudian…
                            Aku menjadi dokter, aku ingin menyelamatkan mereka yang sedang sakit. Seperti ibu menyelamatkan nyawaku waktu itu. Sesederhana itu. Mungkin aku tak bisa benar-benar membalas cinta ibu tapi aku yakin ibu bahagia atas usahaku.
                            “Setiap manusia punya cara berbeda untuk menunjukkan rasa cintanya untuk orang-orang yang dicintainya. Seperti halnya ibu, kasihnya sangat besar pada anaknya. Meski Ibu tahu anaknya tak sanggup membalas pengorbanan itu tapi beliau sangat bahagia bisa mencintai anaknya.”-Dari seseorang yang pernah ibu lahirkan.

2 komentar:

  1. Hehehe kepanajngan cerita'a de
    De maav keliatan'a msh terlalu berbelit2 crita'a
    Tpi sgitu dah bgus ko
    bikin lgi yg bnyak ya
    Bkin tentang persahabatan lan

    BalasHapus
  2. keren nih ceritanya, bikin terharu deh :')

    tapi aku saranin mending kamu pake justify aja, biar lebih rapi trus perhatikan juga penggunaan kata bakunya kayak misalnya "karna" mestinya "karena", trus "kompakan" diganti apa gitu soalnya agak kurang pas ._.

    tapi overall, udah keren kok.. bikin lagi ceritanya ya yang banyak! :P

    BalasHapus