Selamat
ulang tahun yang ke-15 untukku. Seperti ulang tahun sebelumnya, aku dan ayah
merayakan ulang tahunku tanpa kehadiran Ibu. Atau mungkin Ibu selalu hadir dan
aku tak pernah menyadarinya. Aku sangat menyayangi sosok ibu meski aku tak
pernah melihatnya.
Pesta malam ini hanya
ada aku dan ayah, serta kue ditambah hiasan lilin menyala bertuliskan angka 15
diatasnya. Aku merindukan kehadiran ibu saat ini, diusiaku yang remaja aku
butuh ibu untuk mengajariku untuk menemukan jati diriku. Aku dan ayah mulai
menyanyikan lagu ulang tahun, sesekali ayah berhenti menyanyi dan mengusap air
mata dengan sapu tangannya.
“Ayah menangis?”
“Ayah hanya rindu
kehadiran ibumu.”
“Seperti apa Yah ibu
itu?”
“Ibumu adalah sosok
mulia, penuh kasih sayang, dia cerdas sepertimu. Dia sosok penuh cinta pada
siapapun.”
“Apa ibu juga mencintaiku?”
“Tentu saja ibu sangat
mencintaimu.”
“Jika ibu mencintaiku,
kenapa ibu pergi? Ibu lebih memilih meninggalkanku daripada harus bersamaku. Itukah
yang disebut cinta Ayah?”
Ayah menghela napas dan
mendekapku hangat. Kemudian langkahnya menuntunku pada kotak tua yang usang dan
berdebu, kotak ini sengaja disimpan ayah bertahun-tahun lamanya. Kotak ini
tersimpan rapi dalam almari baju ibu, aku tak pernah tahu ada kotak tua di
almari itu karna memang ayah selalu melarangku membuka almari peninggalan ibu.
“Ini adalah surat dari
ibumu sewaktu beliau melahirkanmu 15tahun silam. Ayah selalu menjaga amanat
ibumu, beliau ingin agar surat ini Ayah sampaikan padamu ketika ulang tahunmu
yang ke-15. Bacalah, maka kamu akan mengerti.”
Ayah memberikan surat
itu padaku. Aku membukanya pelan-pelan, kertas itu begitu rapuh dan aku takut
gerakan tanganku yang tergesa-gesa akan menghancurkannya.
Tulisannya berjajar rapi,
ditulis dengan huruf latin dan tinta berwarna hitam tebal diatas kertas yang
sudah usang. Meski tulisan itu agak berantakan dibagian tengah dan hampir tak
terbaca olehku.
Untuk
siapapun kamu yang lahir dari rahim ibu,
Ibu
selalu menantikan hari kelahiranmu, ibu ingin sekali mendekapmu dan
melindungimu dari kerasnya dunia luar. Kamu mungkin menganggap ibu sangat jahat
meninggalkanmu yang masih bayi, ketahuilah ibu sangat mencintaimu melebihi diri
ibu sendiri.
Ibu
tidak bisa menolak, ketika Tuhan memberi ibu penyakit Leukimia. Dokter yang
saat itu merawat, hanya memberi dua pilihan menyelamatkan ibu atau
menyelamatkan kamu. Ini adalah pilihan paling sulit dalam hidup ibu, tapi ibu
memilihmu meski harus mengorbankan diri ibu sendiri. Ibu lebih memilih
memperjuangkan hidupmu. Ibu yakin kamu akan menjadi anak baik, ibu tak ingin merenggut
masa depanmu.
Hari
berlalu, hingga hari kelahiranmu tiba. Ini adalah hari yang ibu nanti ibu bisa
memilikimu, meski dihari yang sama juga ibu akan kehilanganmu. Ibu berjuang,
mempertaruhkan nyawamu dengan menebusnya dengan nyawa ibu. Ibu sempat mendengar
suara tangisanmu didunia. Ibu sangat bahagia. Selamat datang didunia Nak.
Selamat tinggal.
|
“Jadi itu alasan
kenapa tak pernah ada sosok ibu disetiap ulang tahunku?”
Ayah mengangguk
mantap dan mengembangkan senyum yang sengaja dipaksakan untukku. Aku tahu
perasaannya begitu pilu, begitu kehilangan sosok ibu. Sama halnya seperti
diriku. Cinta ibu sangat besar padaku. Aku tak mungkin bisa membalasnya.
***
Hari
ini ayah mengajakku menengok tempat peristirahatan ibu. Baru kali ini ayah
memberanikan diri mengajakku ke makam ibu. Kami kompakan mengenakan pakaian
serba hitam. Aku mengikuti langkah diantara batu-batu nisan yang berjajar,
langkahnya berhenti di batu nisan bertuliskan “Nayla Putri”
“Kuburan siapa itu Ayah? Apa dia ibuku?”
“Iya beliau Ibumu.”
Ayah memang selalu menyembunyikan
identitas ibu selama ini. Ayah hanya berkata ibumu sedang pergi. Mungkin kala
itu aku masih terlalu kecil untuk mengerti apa itu kematian. Kini aku sudah
mengerti apa maksud dari perkataan ayah, ibu memang benar-benar pergi dari
hidupku dan beliau tak pernah kembali.
Tiba-tiba dadaku sesak, sejenak ingatanku
melayang pada sebuah surat yang sempat ibu tulis untukku 15tahun lalu. Aku
duduk setengah jongkok, pipiku basah dengan air mata. Aku merasa benar-benar
kehilangan sosok ibu, kematian dengan tragis merebutnya dariku.
Ayah meraih tanganku, beliau ingin aku
menaburkan bunga mawar ini untuk ibu. Aku tahu tangannya yang kekar terasa
ngilu saat harus menaburkan bunga itu. Tanpa sepatah katapun aku segera
menuruti kemauan ayah. Hatiku seakan tersayat melihat nisan itu. Berkali-kali
kuciumi nisan itu, kubayangkan saat ini ibu memelukku. Hanya dengan
membayangkan saja sekejab kerinduanku pada sosok ibu sudah terobati meski tak
benar-benar terobati.
“Didunia ini tak ada yang abadi, semua
yang bernyawa pasti akan mengalami kematian. Kamu tidak perlu menyesalinya.
Ibumu selalu hidup abadi dihatimu. Jika kamu sayang pada ibumu, doakan dia.
Itulah caramu menjaga ibu dari kejauhan.” Ucapan ayah sedikit melegakan hatiku.
Aku tahu hatinya begitu tersayaat saat ini.
Aku hanya bisa mengembangkan senyum untuk
menunjukkan pada ayah bahwa aku baik-baik saja, maafkan aku membohongi ayah.
Aku terlalu takut melihat ayah sedih.
***
Selalu dalam rapalan doaku, aku selalu
menyebut nama ibu. Aku selalu bercerita pada Tuhan tentang rinduku pada seorang
Ibu. Aku tak pernah marah pada Tuhan mengambil ibu dari hidupku, aku tak pernah
marah pada siapapun. Karna marah pun tak sanggup mengembalikan ibu kembali ke
hidupku.
“Tuhan
aku tahu Engkau sangat menyayangi ibuku. Aku rindu ibuku, disaat anak-anak
seusiaku bermain dan menghabiskan waktu mereka dengan ibu mereka aku hanya
mampu bercakap-cakap dengan ibu melalui doa. Selamat pagi ibu, atau selamat
siang, bahkan selamat malam. Aku tak pernah tahu disurga sedang musim apa. Musim
saljukah? Ibu pasti kedinginan ya? Tenang saja Bu, aku sudah memohon Tuhan
untuk memberikan ibu kasih sayang paling hangat. Aku bahagia memiliki ibu, ibu
yang rela memperjuangkan apapun hanya untukku. Aku sudah dewasa Bu, Ayah
berhasil mendidikku dengan baik. Dia menyayangiku seperti ibu menyayangiku.
Ayah menyekolahkan aku di SMP Favorit di kota tampat ibu melahirkanku dulu. Ibu
patut berbangga, aku selalu juara di kelas unggulan. Guruku sangat
menyayangiku. Tuhan selalu merencanakan hari yang menyenangkan padaku. Ibu tak
perlu mengkhawatirkanku. Aku bahagia, seperti ibu bahagia disurga sana.”
***
15tahun
kemudian…
Aku menjadi dokter, aku ingin
menyelamatkan mereka yang sedang sakit. Seperti ibu menyelamatkan nyawaku waktu
itu. Sesederhana itu. Mungkin aku tak bisa benar-benar membalas cinta ibu tapi
aku yakin ibu bahagia atas usahaku.
“Setiap manusia punya cara berbeda untuk
menunjukkan rasa cintanya untuk orang-orang yang dicintainya. Seperti halnya
ibu, kasihnya sangat besar pada anaknya. Meski Ibu tahu anaknya tak sanggup
membalas pengorbanan itu tapi beliau sangat bahagia bisa mencintai
anaknya.”-Dari seseorang yang pernah ibu lahirkan.
Hehehe kepanajngan cerita'a de
BalasHapusDe maav keliatan'a msh terlalu berbelit2 crita'a
Tpi sgitu dah bgus ko
bikin lgi yg bnyak ya
Bkin tentang persahabatan lan
keren nih ceritanya, bikin terharu deh :')
BalasHapustapi aku saranin mending kamu pake justify aja, biar lebih rapi trus perhatikan juga penggunaan kata bakunya kayak misalnya "karna" mestinya "karena", trus "kompakan" diganti apa gitu soalnya agak kurang pas ._.
tapi overall, udah keren kok.. bikin lagi ceritanya ya yang banyak! :P