Jumat, 26 April 2013

Sekat Dinding


Kita pernah saling berjanji bertemu ditempat ini setahun lalu. Ingatkah dirimu memberikan sapu tangan ini saat pertemuan terakhir kita? Kau sangat takut sekali melihat tangisku. Bukankah dulu kau melakukan apapun agar bisa melihat tawaku? Aku menjadi wanita paling bahagia saat bersamamu.
Setelah Tuhan membentangkah jarak, kita tidak pernah bertemu. Bukan aku tak ingin menemanimu kemana pun kau pergi. Sungguh aku masih ingin mengejar citaku disini. Cita yang masih kuperjuangkan diatas cintaku.
Setiap minggu sore dimasjid kota aku menantimu penuh harap dan selalu Kau lenyapkan dengan kekecewaan. Kau tak datang sore ini, aku yakin Kau punya alasan atas ketidakhadiranmu. Minggu sore ditempat yang sama aku masih menunggumu, adzan maghrib selalu menyudahi penantianku. Kau tidak datang lagi sore ini, mungkin Kau sibuk dengan kuliahmu. Aku paham mahasiswa semester akhir selalu penuh tugas yang memuakkan. Tidak masalah, pada dasarnya cita memang harus lebih diperjuangkan daripada cinta.
Semakin aku menunggu semakin aku dikecewakan, sosokmu tak pernah hadir. Lagi dan lagi aku harus menelan pil kekecewaan bulat-bulat.
Minggu, bulan bahkan tahun telah berganti tak juga aku menemukan sosokmu hadir di hadapanku. Kecewa, sangat kecewa! Andai aku tak menaruh banyak harapan padamu, mungkin aku tak sesakit ini. Aku lelah memperjuangkan cinta ini sendirian. Sosok Kau yang kuanggap sangat memperjuangkanku ternyata tidak pernah mempedulikanku. Datanglah, aku ingin mengungkapkan rindu yang kubawa selama setahun ini.
Langit biru berubah menjadi pucat, angin berhembus kencang tapi udara begitu panas. Seperti mau hujan. Hujanlah, agar ada yang menemaniku menunggu Kau dimasjid ini. Aku bersandar di tembok sekat yang memisahkan saf perempuan dan laki-laki. Aku merasakan kehadiran sosok Kau begitu dekat. Dia hadir dihadapanku, menanyakan kembali saputangannya. Wajahnya masih setampan dulu, dengan senyum menawan yang meneduhkan. Suara adzan maghrib menyadarkanku dari lamunan panjangku. Sosoknya tiba-tiba menghilang dari mataku. Lamunan lebih indah dari kenyataan.
“Kriiingg”
Dering handphone itu tidak asing ditelingaku. Seperti suara handphone Kau, sedang melamunkah aku? Aku masih diam bersandar di tembok yang sama. Aku takut terlalu jauh melamun, aku takut kecewa.
“Kriiiinggg… Halo.!”
Aku yakin itu suara Kau. Aku berlari menuju balik tembok, berharap sosoknya masih disana. Aku takut kehilangan Kau lagi. Tuhan, terimakasih Kau wujudkan mimpiku.
Tatapanku nanar, dunia kembali kelam. Sosok yang sedang bertelepon itu bukan Kau. Aku memunguti hatiku yang hancur, pipiku basah. Aku duduk bersimpuh, terisak. Aku tidak lagi memperdulikan keramaian jamaah yang memandangiku. Tidak lagi kurasa malu, hanya sakit yang kurasakan.
Ada seseorang baik hati yang mengulurkan sapu tangannya. Hal yang sama juga pernah Kau lakukan saat aku menangis. Aku segera mengambil sapu tangan itu dari tangannya tanpa kulihat siapa pemilik sapu tangan itu.
“Jangan menangis Nona.”
Suara itu mirip sekali dengan suara Kau. Aku benci sosoknya, sosok penipu!
“Aku tahu kamu bukan wanita lemah.” Tangannya dengan lancang memegang pundakku sehingga tubuhku berbalik hampir menyentuh tubuhnya.
Bodoh sekali, kamu tidak pernah mengetahui perasaanku yang sebenarnya. Jangan sok perhatian, kamu sama seperti pria lain yang hanya ingin mempermainkanku dengan perhatianmu. Aku muak.
Tangannya lancang kembali, dia mengusap air mataku. Keterlaluan! Aku benar-benar marah kali ini. Dengan kasar aku tampar pipi kirinya.
            *Plak*
            Aku tersadar, sosok yang kutampar adalah Kau. Melihatnya kini nyata bukan lamunan.
            “Aku pantas ditampar.” Suaranya membuatku iba dan bersalah. Bagaimana pun juga salahnya aku tetap saja dia sudah membuatku kecewa selama setahun ini.
            “Emang.” Tanpa terduga kata ketus itu terlontar dari bibirku.
            “Kenapa baru datang Nona?”
            Kamu yang baru datang! Teriakku dalam hati.
            “Setahun ini aku selalu menunggumu diantara jamaah pria lainnya. Tak pernah kulihat dirimu hadir diantara kerumunan jamaah wanita. Kamu sibuk ya?”
            “Pembohong! Aku selalu hadir, diantara jamaah wanita. Aku selalu kecewa saat tahu Kau tidak hadir. Aku tidak pernah menemukanmu.”
            “Aku tidak bohong, aku tahu jadwal kuliahku sibuk tapi setiap minggu aku selalu meluangkan waktuku disini. Aku selalu duduk bersandar di tembok sekat antara jamaah pria dan wanita. Mungkin sama kecewanya denganmu yang tak pernah melihat sosok yang ditunggu. Lalu dimanakah kau menunggu Nona?”
            “Aku menunggu tepat dibalik tembok yang kau sandari.”
            Kita tertawa geli, dan melanjutkan kegiatan sholat maghrib berjamaah. Jadi selama berbulan-bulan aku sudah bersamamu, sekat dinding ini yang membatasi.
            “Jangan pernah menilai seseorang tak peduli padamu karena dia selalu mengecewakanmu. Mungkin apa yang kau anggap sebab dibalik kekecewaanmu, ternyata caranya memperjuangkanmu diam-diam dan tak pernah kau ketahui.”-WulanSari
           

2 komentar:

  1. Lu mayan...,
    eigh... Lu Wulan ...
    Bagus...bagus..meski ada satu dua kata yang kurang pas dalam penarapan atai=u pengetikan..,
    secara...,alur cerita udah masuk utuk di fahami dan di mengerti..,
    ..yapp...semangat aja dech...berkarya terus biar tambah maju...

    BalasHapus