Kita
pernah saling berjanji bertemu ditempat ini setahun lalu. Ingatkah dirimu
memberikan sapu tangan ini saat pertemuan terakhir kita? Kau sangat takut
sekali melihat tangisku. Bukankah dulu kau melakukan apapun agar bisa melihat
tawaku? Aku menjadi wanita paling bahagia saat bersamamu.
Setelah
Tuhan membentangkah jarak, kita tidak pernah bertemu. Bukan aku tak ingin
menemanimu kemana pun kau pergi. Sungguh aku masih ingin mengejar citaku
disini. Cita yang masih kuperjuangkan diatas cintaku.
Setiap
minggu sore dimasjid kota aku menantimu penuh harap dan selalu Kau lenyapkan
dengan kekecewaan. Kau tak datang sore ini, aku yakin Kau punya alasan atas
ketidakhadiranmu. Minggu sore ditempat yang sama aku masih menunggumu, adzan
maghrib selalu menyudahi penantianku. Kau tidak datang lagi sore ini, mungkin
Kau sibuk dengan kuliahmu. Aku paham mahasiswa semester akhir selalu penuh
tugas yang memuakkan. Tidak masalah, pada dasarnya cita memang harus lebih
diperjuangkan daripada cinta.
Semakin
aku menunggu semakin aku dikecewakan, sosokmu tak pernah hadir. Lagi dan lagi
aku harus menelan pil kekecewaan bulat-bulat.
Minggu,
bulan bahkan tahun telah berganti tak juga aku menemukan sosokmu hadir di
hadapanku. Kecewa, sangat kecewa! Andai aku tak menaruh banyak harapan padamu,
mungkin aku tak sesakit ini. Aku lelah memperjuangkan cinta ini sendirian.
Sosok Kau yang kuanggap sangat memperjuangkanku ternyata tidak pernah mempedulikanku.
Datanglah, aku ingin mengungkapkan rindu yang kubawa selama setahun ini.
Langit
biru berubah menjadi pucat, angin berhembus kencang tapi udara begitu panas. Seperti
mau hujan. Hujanlah, agar ada yang menemaniku menunggu Kau dimasjid ini. Aku
bersandar di tembok sekat yang memisahkan saf perempuan dan laki-laki. Aku
merasakan kehadiran sosok Kau begitu dekat. Dia hadir dihadapanku, menanyakan
kembali saputangannya. Wajahnya masih setampan dulu, dengan senyum menawan yang
meneduhkan. Suara adzan maghrib menyadarkanku dari lamunan panjangku. Sosoknya
tiba-tiba menghilang dari mataku. Lamunan lebih indah dari kenyataan.
“Kriiingg”
Dering
handphone itu tidak asing ditelingaku. Seperti suara handphone Kau, sedang
melamunkah aku? Aku masih diam bersandar di tembok yang sama. Aku takut terlalu
jauh melamun, aku takut kecewa.
“Kriiiinggg…
Halo.!”
Aku
yakin itu suara Kau. Aku berlari menuju balik tembok, berharap sosoknya masih
disana. Aku takut kehilangan Kau lagi. Tuhan, terimakasih Kau wujudkan mimpiku.
Tatapanku
nanar, dunia kembali kelam. Sosok yang sedang bertelepon itu bukan Kau. Aku
memunguti hatiku yang hancur, pipiku basah. Aku duduk bersimpuh, terisak. Aku
tidak lagi memperdulikan keramaian jamaah yang memandangiku. Tidak lagi kurasa
malu, hanya sakit yang kurasakan.
Ada
seseorang baik hati yang mengulurkan sapu tangannya. Hal yang sama juga pernah Kau
lakukan saat aku menangis. Aku segera mengambil sapu tangan itu dari tangannya
tanpa kulihat siapa pemilik sapu tangan itu.
“Jangan
menangis Nona.”
Suara
itu mirip sekali dengan suara Kau. Aku benci sosoknya, sosok penipu!
“Aku
tahu kamu bukan wanita lemah.” Tangannya dengan lancang memegang pundakku
sehingga tubuhku berbalik hampir menyentuh tubuhnya.
Bodoh
sekali, kamu tidak pernah mengetahui perasaanku yang sebenarnya. Jangan sok
perhatian, kamu sama seperti pria lain yang hanya ingin mempermainkanku dengan
perhatianmu. Aku muak.
Tangannya
lancang kembali, dia mengusap air mataku. Keterlaluan! Aku benar-benar marah
kali ini. Dengan kasar aku tampar pipi kirinya.
*Plak*
Aku tersadar, sosok yang kutampar adalah Kau. Melihatnya
kini nyata bukan lamunan.
“Aku pantas ditampar.” Suaranya membuatku iba dan
bersalah. Bagaimana pun juga salahnya aku tetap saja dia sudah membuatku kecewa
selama setahun ini.
“Emang.” Tanpa terduga kata ketus itu terlontar dari
bibirku.
“Kenapa baru datang Nona?”
Kamu yang baru datang! Teriakku dalam hati.
“Setahun ini aku selalu menunggumu diantara jamaah pria
lainnya. Tak pernah kulihat dirimu hadir diantara kerumunan jamaah wanita. Kamu
sibuk ya?”
“Pembohong! Aku selalu hadir, diantara jamaah wanita. Aku
selalu kecewa saat tahu Kau tidak hadir. Aku tidak pernah menemukanmu.”
“Aku tidak bohong, aku tahu jadwal kuliahku sibuk tapi
setiap minggu aku selalu meluangkan waktuku disini. Aku selalu duduk bersandar
di tembok sekat antara jamaah pria dan wanita. Mungkin sama kecewanya denganmu
yang tak pernah melihat sosok yang ditunggu. Lalu dimanakah kau menunggu Nona?”
“Aku menunggu tepat dibalik tembok yang kau sandari.”
Kita tertawa geli, dan melanjutkan kegiatan sholat
maghrib berjamaah. Jadi selama berbulan-bulan aku sudah bersamamu, sekat
dinding ini yang membatasi.
“Jangan pernah
menilai seseorang tak peduli padamu karena dia selalu mengecewakanmu. Mungkin
apa yang kau anggap sebab dibalik kekecewaanmu, ternyata caranya
memperjuangkanmu diam-diam dan tak pernah kau ketahui.”-WulanSari
Lu mayan...,
BalasHapuseigh... Lu Wulan ...
Bagus...bagus..meski ada satu dua kata yang kurang pas dalam penarapan atai=u pengetikan..,
secara...,alur cerita udah masuk utuk di fahami dan di mengerti..,
..yapp...semangat aja dech...berkarya terus biar tambah maju...
nice :)
BalasHapus